Halaman

Selasa, 21 Januari 2014

Syaikh Ihsan Jampes (1901 – 1952) Pecinta Wayang

Syaikh Ihsan Jampes (1901 – 1952) Pecinta Wayang

Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes.
Ny. Isti’anah dan KH. Saleh-Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
  1. Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
  2. Pondok Pesantren Jamseran Solo,
  3. Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
  4. Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
  5. Pondok Pesantren Punduh Magelang
  6. Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
  7. Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar