KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR
YANG MENJADI FITNAH
SIAPAKAH SYEH SITI JENAR
Oleh:
KH.Shohibul Faroji Al-Robbani
Nama asli Syekh Siti Jenar
adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian
setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk
berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti
Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah
seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab
lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih
bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid
’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih
bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi
Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi
al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid
'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam
Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin
bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir
sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya
Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar
kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti
Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke
Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti
Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar
Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1,
Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya
bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M,
Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan
Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah
Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M.
Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid
Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di
Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad
Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon.
Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang
pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah
Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana
Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad
sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali,
Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid
Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah
Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid
Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat,
Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu
Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin
Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India,
Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh
Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu
’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya
Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah
karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab
At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu
Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih
Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar
ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid
Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah
Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara
murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali
Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan
lain-lain.
KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI
FITNAH adalah:
1.
Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing.
Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak
ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini
adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat
jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1,
cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal
saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit
kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang
(Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia
memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah
Abang]….
2.
“Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada
Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah
bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab
Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat
“Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’
sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’
Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”,
artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh
Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid
Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3.
Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar
meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh
Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia
berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti
Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia
adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan
Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah
bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi,
tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak
pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4.
Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti
Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan
saya: “Ini suatu penghinaan kepada
seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab,
seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi
anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa
berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia
lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya
meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan
ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti
Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung
Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan
melaksanakan sholat shubuh.“
5.
Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah
bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang
ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau
sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah
Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara
kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang
mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9
waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh
waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini,
menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah
Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni
dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah
Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah
Belah] dengan 3 kelas:
1)
Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2)
Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan
Demak]
3)
Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat
fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis,
freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam.
Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam
ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan
Islam dan umat Islam.
Diposkan
oleh Syaroni
Assamfury
Tidak ada komentar:
Posting Komentar