Biografi KH Ihsan Muhammad Dahlan Pengarang Siroj al-Tholibin
Masa remaja hobi judi dan wayang. Semalam suntuk harus ditemani kopi dan sigaret. Namun dari sanalah lahir kitab tasawuf yang menjadi acuan di banyak negeri.
Bakri
menyuruh kawan-kawannya menyingkir. Di lokasi perjudian itu,
kawan-kawan Bakri sudah bermain beberapa putaran. Tapi sial, mereka
kalah. Uang menipis. Hanya tersisa untuk satu kali permainan. Maka
begitu Bakri datang, ia segera mengambil alih, kawan-kawannya dimintanya
minggir untuk menyaksikan saja.
Karena Bakri sudah berpengalaman, dalam permainan kali ini pun mudah
saja buat Bakri meraih kemenangan. Dan betul, Bakri menang. Uang hasil
meja judi itu dia bagi-bagikan ke kawan-kawan yang kalah tempur tadi.
Masing-masing dia beri sejumlah uang yang telah ludes di tempat adu
untung itu.
Kegemaran Bakri berlaga di medan judi terus berlanjut meski Bakri
adalah putra seorang kiai, dan tinggal di dalam pesantren. Bakri tak
lain adalah nama kecil KH Ihsan Muhammad Dahlan asal Jampes, Kediri,
Jawa Timur. Dia lahir pada 1901 dan meninggal pada 15 September 1952.
Siraj al-Thalibin, kitab karangannya yang merupakan komentar atas Minhaj al-Abidin karya sufi besar Imam al-Ghazali, hingga sekarang menjadi bacaan rutin di pesantren-pesantren Nusantara, bahkan di sejumlah negeri mancanegara.
Tapi, memang begitulah Kiai Ihsan remaja yang waktu itu masih
menyandang nama Bakri. Bakri sangat hobi sekaligus jago dalam hal
judi-menjudi. “Ia sangat mahir,” tulis Busro Abd. Mughni dalam Syekh
Ihsan Muhammad Dahlan terbitan tahun 1982. Hobi Bakri ini tak ayal
membuat Ny. Istianah, sang nenek, jengkel bukan kepalang. Ny. Istianah
tak henti-henti menasehati dan memarahi Bakri setiap kali mendapatkannya
pulang bermain dengan kawan-kawannya.
Dasar bandel, Bakri tak menghentikan hobinya itu. Mau tak mau Ny.
Istianah harus memikirkan cara ampuh untuk membuat sang cucu kapok. Ny.
Istianah pun mendapat gagasan: mengajak Bakri berziarah ke makam
leluhur. Dalam silsilah keluarga, Ny. Istianah adalah cucu Kiai Yahuda,
yang terhitung masih keturunan Panembahan Senopati pendiri kerajaan
Mataram. Makam Kiai Yahuda ada di Desa Nogosari, Lorog, Pacitan, Jawa
Timur.
Ke sanalah kemudian Bakri dibawa sang nenek. Bersama KH Dahlan (ayah
Bakri) dan KH Khazin (paman Bakri), Ny. Istianah menghadapkan Bakri pada
makam “Mbah Yahuda”. Di sana, Ny. Istianah berdoa kepada Allah dengan
perantaraan (wasilah) orang-orang suci agar jalan keluar segera
diperoleh.
Begitu sungguh-sungguhnya Ny. Istianah memanjatkan permintaan, hingga salah satu doanya berbunyi demikian, “Apabila Bakri ini tidak dapat berhenti atau menghentikan segala kenakalannya, maka kami minta kepada Allah untuk mengambilnya saja sekarang ini, jangan beri ia umur panjang.” Ekstrem mungkin. Namun ada efeknya juga bagi Bakri. Beberapa hari selepas ziarah, Bakri bemimpi didatangi seorang kakek lanjut usia.
“Wahai cucuku, sanggupkah engkau menghentikan segala perbuatanmu yang
tercela itu?” kata sang kakek sembari menenteng sebuah batu besar yang
kemudian diarahkan ke atas kepala Bakri. “Jika engkau tidak sanggup maka
batu ini akan menghancurkan kepalamu?”
“Ada hubungan apa saya dengan kakek?” timpal Bakri. “Terus atau
berhenti, semua itu adalah urusan dan tanggung jawab saya sendiri. Tak
seorang pun berhak mempersoalkannya.”
Bum!!! Batu itu pun dilepaskan sang kakek, dan mengena tepat di
kepala Bakri. Tak pelak, hancurlah kepala Bakri, semua isi kepalanya
terburai. Seketika Bakri terbangun, berucap istigfar berulang-ulang.
Bakri lalu lari menuju kamar sang nenek,, dan melaporkan mimpinya itu.
Semenjak itu, Bakri berjanji untuk menyetop kesenangannya bertempur
di papan permainan adu nasib. Ya, bukan hukuman cambuk ternyata yang
bikin Bakri jera. Bakri dibuat kapok hanya setelah mengalami dua
peristiwa: ziarah makam leluhur dan mimpi.
KIAI IHSAN REMAJA alias Bakri masih punya hobi lain
selain judi. Dan kecanduan Bakri terhadap kegemaran ini pun tak kalah
tinggi kadarnya. Yaitu, wayang. Di daerah mana pun ada pertunjukan
wayang, Bakri senantiasa tak pernah absen menonton. Dalang pemula maupun
dalang terkenal, tak dia pilih-pilih, semua dia saksikan. Sampai-sampai
dia paham betul jalan cerita dan karakter tokoh dunia pewayangan. Bakri
juga mengoleksi anak-anak wayang sembari sesekali melakonkannya di
depan teman-teman sendiri laiknya dalang profesional.
Saking hafalnya cerita-cerita pewayangan,
Bakri tahu betul jika ada dalang yang lakonnya menyalahi aturan. Pernah
suatu ketika Bakri memprotes seorang dalang asal desa sebelah,
Gampengprejo. Bakri melihat lakon si dalang keluar pakem. Bakri langsung
menegur si dalang, padahal pertunjukan sedang berlangsung. Dalang
menyangkal. Terjadilah debat. Tapi kemudian, karena sadar sedang live,
mereka sepakat menunda perdebatan usai pertunjukan.
Kehidupan Kiai Ihsan remaja memang penuh warna-warni lokal yang khas,
dan itu tak mengurangi kedalamannya dalam mengulas persoalan agama.
Kitabnya Siraj al-Thalibin mendapat apresiasi tinggi umat Islam
di berbagai negara. KH Sulaiman Faqih, seorang kiai asal Banjar, Jawa
Barat, mendapat sebuah kisah tentang kesohoran karya Kiai Ihsan. Waktu
itu Kiai Sulaiman sedang melakukan ibadah haji di Mekah, dan bertemu
dengan H Muhsin, seorang sahabatnya asal Singapura.
H Muhsin bercerita bahwa dia baru saja bertemu dengan seorang tua
dari Mesir. H Muhsin mengenakan kopiah hitam, seperti kebanyakan kopiah
yang dipakai orang Indonesia.
“Anda dari Jawa?” tanya orang tua dari Mesir itu.
“Bukan. Saya dari Singapura, sebelah Jawa,” jawab H Muhsin.
“Kenalkah Anda dengan Syekh Ihsan Jampes, pengarang Siraj al-Thalibin?”
“Oh, kenal dan tahu benar saya dengan pengarang kitab itu. Sebab
antara tahun 1935 sampai 1945 saya belajar di hadapan pengarang kitab
tersebut.”
Orang tua dari Mesir itu langsung merangkul dan mencium H Muhsin. “Ahlan wa sahlan. Berbahagialah saya, bertemu dengan saudaraku yang saleh, murid muallif (pengarang) Siraj al-Thalibin.”
KARYA Kiai Ihsan begitu dikenal di berbagai negeri, tapi Kiai Ihsan
sendiri sebenarnya bukanlah tipe seorang pelancong, yang sering
melakukan kontak dengan berbagai jaringan ulama lintas negara. Berbagai
ilmu pengetahuan agama yang dimiliki Kiai Ihsan atawa Bakri pun
diperolehnya melalui belajar dari pesantren ke pesantren di bumi Jawa.
Mula-mula, Bakri hanya memperoleh pendidikan agama melalui keluarga,
terutama nenek dan ayahnya. Tapi kemudian dia menjelajahi berbagai
pesantren.
Pesantren pertama yang disinggahi Bakri adalah pesantren Bendo, Pare,
Kediri. Pesantren ini diasuh oleh pamannya sendiri, KH Khazin. Setelah
beberapa waktu, Bakri pindah ke pesantren Jamsaren, Salatiga, Jawa
Tengah. Kemudian juga pesantren KH Dahlan, Semarang, Jawa Tengah;
pesantren Mangkang, Semarang; pesantren Pundun, Magelang, Jawa Tengah.
Begitu pula, dia singgah di pesantren Gondanglegi, Nganjuk, Jawa Timur,
untuk belajar Ilmu Arudh (ilmu tentang syair), dan pesantren Bangkalan,
Madura asuhan KH Khalil guna mendalami Ilmu Nahwu dan Sharaf (ilmu
gramatika bahasa Arab).
Hampir setiap tinggal di pesantren, Bakri tak betah lama.
Paling-paling cuma satu-dua bulan. Di pesantren Bangkalan, misalnya, dia
hanya sanggup tinggal dua bulan. Di pesantren Jamsaren, cuma satu
bulan. Nah, yang lebih singkat lagi di pesantren KH Shaleh Darat,
Semarang; dia hanya singgah selama 20 hari.
Di pesantren-pesantren tersebut, Bakri sepertinya hanya ingin
memperolehijazah bagi kitab-kitab yang dia kehendaki. Ijazah adalah
semacam restu kiai yang menandakan bahwa seorang murid sudah dianggap
berhasil menyerap ilmu sang kiai terhadap suatu kitab tertentu. Tradisi
ini memang sudah lama berlaku di lingkungan pesantren.
Kiai Ihsan nyaris tidak pernah melawat ke luar pulau. Kalaupun
pernah, itu pun ketika dia harus melaksanakan rukun Islam kelima, haji.
Yaitu pada 1926, di mana dia resmi mendapat nama H Ihsan sebagai ganti
nama kecilnya: Bakri. Selebihnya, Kiai Ihsan lebih banyak tinggal
mengajar di pesantren sang ayah.
Apalagi semenjak pada 1932, yakni ketika Kiai Ihsan menjadi pengasuh
pesantren Jampes tersebut, semakin banyaklah waktunya dihabiskan
dindalem-nya, di sebelah Sungai Brantas itu. Hari-hari Kiai Ihsan adalah
mengajar, membaca, menulis. Bacaannya tidak hanya meliputi pengetahuan
agama, melainkan beraneka ragam baik bacaan berbahasa Arab maupun
Melayu. Kiai Ihsan suka membaca koran.
Sehari-semalam barangkali hanya beberapa jam saja yang digunakan Kiai Ihsan untuk tidur. Sebab, malam-malam, Kiai Ihsan lebih sering terjaga. Selepas mengaji, mengajar santri-santrinya, Kiai Ihsan akan langsung menuju ruangan, duduk di belakang meja, melakukan muthala’ah (meneliti kitab-kitab). Di saat seperti ini, Kiai Ihsan harus ditemani kopi dan rokok. Ini tak boleh ketinggalan meski sejumlah ulama menilai kedua hal tersebut haram atau makruh. Justru sembari menikmati minuman hitam dan tembakau itulah dari tangan Kiai Ihsan lahir karya-karya genius.
Lihatlah sejumlah kitab yang sudah ditulis Kiai Ihsan. Siraj al-Thalibin,
yang disusun sekitar 1932-33 sebagai syarah atau komentar panjang atas
karya Al-Ghazali, sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf.
Tebalnya nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz. Sebelumnya, pada
1930, Kiai Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak
(Astronomi) berjudul Tashrih al-Ibarat. Ini merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Tipis saja, 48 halaman.
Kiai Ihsan juga mengarang Manahij al-Imdad setebal seribu
halaman lebih, serta sejumlah kitab lain, termasuk Irsyad al-Ikhwan fi
Syurb al-Qahwah wa al-Dukhan. Karya yang disebut terakhir ini khusus
menjelaskan posisi hukum Islam atas dua kenikmatan favorit Kiai Ihsan:
kopi dan rokok. Setebal 53 halaman. Disusun dengan sistem nazhaman
(syair).
Melalui kitab tersebut, barangkali Kiai Ihsan mau berargumen mengapa
ia tetap ngopi dan ngerokok, malah terkesan dia enggan meninggalkan
keduanya. Namun, nyatanya Kiai Ihsan sekadar memetakan ulama yang
melarang dan yang membolehkan.
Ulama yang mengharamkan kebanyakan beralasan, “Itu
berbahaya,mudhirrah.” Sementara, ulama yang membolehkan punya argumen.
“Tidak berbahaya, justru membuat tubuh lebih segar dan giat.”
Kiai Ihsan betul-betul tidak memberikan keputusan tegas mengenai
argumen mana yang lebih kuat. Hanya, dalam kehidupan sehari-hari, setiap
malam hingga fajar, di sebelah timur Sunga Berantas itu, sembari
memelototi deretan huruf di atas lembaran kertas kuning, Kiai Ihsan
terus menghisap tembakau dan menyerubut kopi kental. Dan tahu-tahu, dia
telah menelurkan kitab-kitab bermutu tinggi.*
Disadur dari Tahanus, Majalah Syir’ah 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar