Sekitar pertengahan abad ke-16
Masehi tersebutlah seorang pemuda gagah berdarah Arab di tepi barat
pulau Jawa, Cirebon. Selama beberapa bulan ia berlayar dari kampung
halamannya di negara Yaman. Saat itu memang sedang gencar-gencarnya
orang-orang Arab berimigrasi ke tanah Jawa. Dan salah satunya adalah
kakek Mbah Sayid Sulaiman, tokoh yang disebut di awal tulisan ini.
Orang-orang Arab ini datang dengan maksud
bermacam-macam. Ada yang berdakwah untuk menyebarkan agama Islam, ada
pula yang berniaga seraya berdakwah. Pemuda itu bernama Abdurrahman. Ia
adalah seorang Sayid keturunan Rasulullah yang bergelar Basyaiban.
Basyaiban adalah gelar warga habib keturunan Sayid Abu Bakar Syaiban,
seorang ulama terkemuka di Tarim, Hadramaut, yang terkenal alim dan
sakti.
Sayid Abu Bakar mendapat julukan Syaiban
(yang beruban) karena ada kisah unik dibalik julukannya itu. Suatu
ketika, Sayid Abu Bakar yang saat itu masih tergolong muda menghilang.
Sejak itu ia tidak muncul-muncul. Konon, ia uzlah untuk mendekatkan diri
kepada Yang Maha Kuasa. Baru setelah sekitar tiga puluh tahun, Sayid
Abu Bakar muncul di Tarim. Ia tetap tampak muda. Tapi aneh, rambutnya
putih, tak selembar pun yang hitam. Ia seperti berambut salju. Sejak
itulah orang-orang menjulukinya Syaiban (yang beruban).
Abdurrahman masih tergolong cicit dari
Sayid Abu Bakar Basyaiban. Ia putra sulung Sayid Umar bin Muhammad bin
Ahmad bin Abu Bakar Basyaiban. Lahir pada abad 16 Masehi di Tarim, Yaman
bagian selatan, perkampungan sejuk di Hadramaut yang masyhur sebagai
gudang para wali.
Dalam masa perantauannya ke Nusantara,
tepatnya di Pulau Jawa, Sayid Abdurrahman memilih bertempat tinggal di
Cirebon, Jawa Barat. Beberapa waktu kemudian, ia mempersunting putri
Maulana Sultan Hasanuddin (?-1570 M). Putri bangsawan itu juga masih
keturunan Rasulullah. Ia bernama Syarifah Khadijah, cucu Raden Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Dari pasangan dua keturunan
Rasulullah ini, lahir tiga orang putra: Sayid Sulaiman, Sayid Abdurrahim
(terkenal dengan sebutan Mbah Arif Segoropuro Pasuruan), dan Sayid
Abdul Karim.
Mewarisi ketekunan leluhurnya dalam
berdakwah, keluarga ini berjuang keras menyebarkan Islam di Jawa, tak
jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, Sunan
Gunung Jati, di Cirebon. Pengaruh dan ketekunan mereka dalam berdakwah
membuat penjajah Belanda khawatir. Maka ketika menginjak dewasa, Sayid
Sulaiman dibuang oleh mereka. Putra sulung Sayid Abdurrahman ini,
kemudian tinggal di Krapyak, Pekalongan, Jawa Tengah. Di Pekalongan,
beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putra. Empat di antaranya
laki-laki, yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir, dan Ali Akbar.
Dari Pekalongan Sayid Sulaiman berkelana
lagi. Kali ini, Solo (Surakarta) menjadi tempat tujuan. Selama tinggal
di Solo beliau terkenal sakti. Kesaktiannya yang sudah masyhur itu
mengundang rasa iri seorang Raja dari Mataram. Sang Raja ingin
membuktikan kesaktian Sayid. Maka diundanglah Sayid ke keraton.
Saat itu di istana sedang berlangsung
pesta pernikahan putri bungsu sang Raja. Sayid Sulaiman dipanggil
menghadap. Untuk memeriahkan pesta pernikahan putri bungsunya ini, Raja
meminta agar Sayid memperagakan pertunjukan yang tak pernah diperagakan
oleh siapapun.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan oleh orang-orang sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.
“Sulaiman, anda ini orang sakti. Kalau benar-benar sakti, saya minta tolong buatkan pertunjukan yang tidak umum, yang belum pernah disaksikan oleh orang-orang sini,” pinta Raja Mataram kepada Sayid dengan nada menghina.
Mendengar permintaan Raja yang sinis itu,
Sayid meminta pada Raja untuk meletakkan bambu di alas meja, sembari
berpesan untuk ditunggu. Sayid Sulaiman lalu pergi ke arah timur.
Masyarakat sekitar keraton menunggu kedatangan Sayid demikian lama,
namun Sayid belum juga datang. Raja Mataram hilang kesabaran. la marah.
la membanting bambu di alas meja itu hingga hancur berkeping-keping.
Sesuatu yang ajaib terjadi, kepingan bambu-bambu itu menjelma menjadi
hewan yang bermacam-macam. Raja Mataram tersentak melihat keajaiban ini,
barulah ia mengakui kesaktian Sayid Sulaiman.
Raja Mataram kemudian menitahkan beberapa
prajuritnya untuk mencari Sayid Sulaiman. Sedang hewan-hewan jelmaan
bambu itu terus dipelihara. Hewan-hewan itu ditampung dalam sebuah kebun
binatang yang kemudian diberi nama “Sriwedari”. Artinya, “Sri” adalah
tempat, sedangkan “Wedari” adalah “wedar sabdane Sayid Sulaiman”. Kebun
binatang itu tetap terpelihara. Tak lama berselang, Sriwedari menjadi
sebuah taman dan obyek wisata terkenal peninggalan Mataram. Namun pada
tahun 1978, binatang-binatang di Sriwedari dipindah ke kebun binatang
Satwataru.
Nyantri di Ampel
Setelah meninggalkan Solo, Mbah Sayid
Sulaiman pergi dari Solo ke Surabaya. Untuk sampai ke Surabaya, beliau
harus melalui hutan belantara. Tujuan beliau menuju ke Ampel, Surabaya,
adalah untuk nyantri kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kabar
keberadaan Sayid Sulaiman akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram. Ia
mengirim utusan ke Surabaya untuk memanggilnya. Di antara utusan itu ada
Sayid Abdurrahim, adik kandung Sayid Sulaiman sendiri. Sesampainya di
Ampel, ia sangat terharu bertemu kembali dengan kakaknya tercinta. Dan
akhirnya, ia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Mataram. Ia ingin
belajar kepada Sunan Ampel bersama sang kakak.
Pada suatu malam, saat murid-murid Sunan
Ampel sudah tertidur pulas, tiba-tiba terdapat dua kilatan sinar menerpa
dua orang murid Sunan Ampel yang sedang tidur. Sinar itu berwarna
kuning keemasan. Sunan Ampel yang saat itu sedang tidak tidur,
menghampiri tempat jatuhnya sinar tadi. Karena keadaan yang gelap,
beliau tidak dapat melihat dengan jelas wajah kedua santrinya yang
diterpa sinar keemasan ini. Beliau memutuskan untuk mengikat sarung
kedua santrinya itu. Usai salat Subuh, Sunan Ampel bertanya kepada para
santrinya,
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
“Siapa yang sarungnya tadi malam terikat?”
Mbah Sayid Sulaiman dan Mbah Abdurrahim mengacungkan tangan. Lalu, Sunan Ampel berkata,
“Mulai sekarang, santriku jangan manggil Sulaiman, jangan manggil Abdurrahim tok, tapi panggillah Mas Sulaiman dan Mas Abdurrahim!”
Panggilan ini menjadi cikal-bakal sebutan “Mas” (semacam “Gus”) oleh santri untuk memanggil keturunan para Masyayikh.
Riwayat belajarnya Sayid Sulaiman kepada
Sunan Ampel ini sebenarnya masih sangat disangsikan. Soalnya, terdapat
selisih tahun yang terlalu jauh antara masa hidup Sayid Sulaiman dan
Sunan Ampel. Sunan Ampel hidup pada 1401-1481 M (abad 14 M), sedangkan
Sayid Sulaiman diperkirakan hidup pada abad 17 M, jadi selisih tiga abad
(300 tahun) dengan Sunan Ampel. Kemungkinan besar, Sayid Sulaiman
belajar di Ampel ini tidak pada Sunan Ampel sendiri, tetapi pada
generasi-generasi penerus beliau. Kemungkinan juga cerita di atas
terjadi ketika mereka nyantri kepada Habib Sholeh (Mbah Semendi).
Keramat di Pasuruan
Setelah nyantri di Ampel, kakak beradik
ini pergi ke Pasuruan untuk nyantri pada Mbah Sholeh Semendi di
Segoropuro. (Belakangan diketahui ternyata Mbah Sholeh adalah paman
mereka sendiri, saudaranya ibu mereka, Syarifah Khodijah). Setibanya di
Pasuruan, setelah mengungkapkan keinginan untuk menuntut ilmu, mereka
diajak mandi di sungai Winongan oleh Mbah Sholeh Semendi. Ketika mereka
sedang asyik mandi bersama, tiba-tiba Mbah Semendi hilang, tak lama
kemudian, muncul lagi. Kejadian ini terulang sampai dua kali.
Mbah Sulaiman berfirasat bahwa Mbah
Sholeh Semendi bermaksud mencoba kesaktiannya bersama adiknya berdua.
Mereka berunding, jika nanti Mbah Sholeh sedang mandi, teklek
(bakiak/sandal kayu zaman dahulu) miliknya dipegang bersama-sama agar
Mbah Sholeh tidak bisa menghilang. Maka mereka memegang teklek Mbah
Sholeh itu dengan mengerahkan segala kemampuan. Demikian pula Mbah
Sholeh. Tapi Mbah Sholeh Semendi tidak bisa menghilang. Akhirnya ia tahu
bahwa ia tidak bisa menghilang sebab tekleknya dipegang oleh Sayid
Sulaiman dan Sayid Abdurrahim,
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
“Eh, eh, jangan begitu. Lepaskan sandal saya!” pinta Mbah Sholeh.
Setelah kejadian itu, Mbah Sholeh mengakui akan kesaktian dua bersaudara itu.
Banyak kisah-kisah luar biasa yang
terjadi antara Sayid Sulaiman dan Mbah Sholeh. Di antaranya, pada suatu
hari, Mbah Sholeh hendak bepergian. Sebelum pergi, beliau berpesan
kepada semua santrinya agar halaman dibersihkan selama kepergiannya.
Maka saat beliau berangkat pergi, semua santri Mbah Sholeh melaksanakan
kerja bakti, Sayid Sulaiman dan Sayid Abdurrahim turut serta bersama
mereka. Lagi-lagi Sayid Sulaiman membuat keajaiban. Ia mencabuti
pohon-pohon besar hingga bersih total.
Setiba dari bepergiannya, Mbah Sholeh
kaget melihat pohon-pohon besar yang dicabuti sampai bersih. Setelah
tahu bahwa yang mencabuti adalah Sayid Sulaiman, Mbah Sholeh
memerintahkan agar pohon-pohon itu dikembalikan seperti semula.
Subhanallah, dengan izin Allah, pohon-pohon tersebut dapat dikembalikan
lagi oleh Mbah Sayid. Sejak kejadian itu, berita tentang kesaktian Mbah
Sayid Sulaiman tersiar dari mulut ke mulut di seluruh penjuru Pasuruan.
Setelah mondok di Mbah Sholeh, Sayid
Sulaiman tinggal di Kanigoro, Pasuruan. Sehingga beliau mendapat julukan
Pangeran Kanigoro. Saat itu, beliau sempat menjadi penasehat Untung
Surapati. Untung Surapati adalah tokoh terkemuka Pasuruan. Ia tercatat
sebagai pahlawan yang berjasa mengusir penjajah Belanda dari Nusantara
di Pasuruan.
Berita tentang kesaktian Sayid Sulaiman
juga terdengar oleh Raja Keraton Pasuruan. Raja Pasuruan ini tidak
percaya tentang kesaktiannya. Ia sering kali melecehkan kesaktian Mbah
Sayid. Sampai suatu ketika Putri Keraton yang sedang berjalan-jalan
keliling kota hilang. Kusir dan kereta kuda yang dipakai oleh sang Putri
juga ikut raib. Sang Raja menjadi sedih bermuram durja.
Diadakanlah sayembara: Bagi yang
menemukan sang Putri, akan mendapat hadiah yang amat besar. Tapi malang,
tidak ada satu orang pun yang berhasil menemukan sang Putri. Sang Putri
seperti lenyap ditelan bumi. Hati Raja semakin bersedih dan putus asa.
Akhirnya, ia meminta bantuan kepada Sayid
Sulaiman yang sebelumnya sering ia hina. Di hadapan Sang Raja, Mbah
Sulaiman memasukkan tangannya ke dalam saku. Tak berapa lama kemudian,
beliau melemparkan sesuatu dari dalam sakunya ke halaman. Luar biasa!
Dengan izin Allah, sang Putri muncul bersama kereta dan kusirnya di
halaman Keraton. Konon, ia dibawa lari jin ke alam gaib.
Melihat putrinya kembali, hati Raja
berbunga-bunga. Ia gembira alang-kepalang dan meminta agar Sayid
Sulaiman menikahi putrinya itu sebagai tanda ucapan terima kasih atas
jasanya. Namun Mbah Sayid menolak. Beliau memilih kembali ke Kanigoro.
Tak lama kemudian, Sayid Sulaiman diambil
menantu oleh gurunya yang notabene pamannya sendiri, Mbah Sholeh
Semendi. Semula, beliau menolak, tetapi akhirnya beliau menerima
permintaan gurunya itu. Beliau menikahi putri Mbah Sholeh yang kedua.
Sedangkan adiknya, Mbah Abdurrahim, mempersunting putri Mbah Sholeh yang
pertama, kakaknya istri Mbah Sulaiman. Mbah Abdurrahim tinggal di
Segoropuro, Pasuruan, sampai meninggal dunia. Orang-orang mengenalnya
dengan panggilan Mbah Arif Segoropuro. Sedangkan Mbah Abdul Karim, adik
Sayid Sulaiman yang kedua, wafat di Surabaya dan dimakamkan di komplek
pemakaman Sunan Ampel.
Selain beristri putri Mbah Sholeh, Sayid
Sulaiman juga mempunyai istri dari Malang. Dari istrinya dari Malang ini
beliau mempunyai putra bernama Hazam.
Kembali ke Cirebon
Setelah hari pernikahan, Mbah Sulaiman
kembali ke Cirebon, Jawa Barat, tempat di mana ia lahir dan menghabiskan
masa kanak-kanaknya bersama ayah dan ibu tercinta. Tapi pada saat itu,
suasana di Banten dan Cirebon sedang ricuh disebabkan terjadinya
pertikaian antara Sultan Agung Tirtayasa dengan putranya sendiri, Sultan
Haji, yang terjadi berkisar pada tahun 1681-1683. Maka sejak tahun
1681, Sultan Agung Tirtayasa aktif melakukan penyerangan terhadap
putranya ini. Pemicu pertikaian yang berlangsung sampai tiga tahun ini
adalah pemihakan Sultan Haji pada Belanda.
Melihat hal ini, Mbah Sulaiman memutuskan
untuk kembali lagi ke Pasuruan. Beliau kembali menetap di Kanigoro,
sebuah dusun di desa Gambir Kuning. Di Gambir Kuning beliau mendirikan
dua buah masjid unik. Bahan bangunannya seperti kayu usuk, belandar,
ring, dan lain-lain hanya diambilkan dari kayu satu pohon terbesar di
hutan Kejayan. Pohon besar itu adalah pemberian dari kepala hutan
Kerajaan Untung Surapati Pasuruan. Karena ukuran pohon itu sangat besar,
disediakanlah 40 ekor sapi untuk menariknya ke lokasi pembangunan
masjid, tapi sapi-sapi itu tidak kuat membawanya. Tapi aneh, keesokan
harinya kayu-kayu itu sudah ada di lokasi pembangunan. Konon, yang
mengangkat kayu itu adalah Sayid Sulaiman sendiri.
Sampai sekarang masjid ini masih tetap
ada. Namun, karena lokasinya yang sempit, masjid itu dipindah agak ke
selatan oleh Syekh Rafi’i, cicit Mbah Sulaiman dari cucunya, Ummi
Kultsum bin Hazam bin Sulaiman, pada bulan Rabiul Awal 1243 H, hampir
dua abad yang lalu. Masjid dengan gaya arsitektur kuno itu, kini telah
berusia lebih dari 400 tahun. Sampai kini, bahan-bahan masjid
peninggalan Mbah Sulaiman itu masih asli, kecuali lantai dan tiang
bagian dalam.
Pergi ke Keraton Mataram
Kabar kekeramatan Mbah Sayid di Pasuruan
terdengar kembali ke Keraton Mataram (Solo). Raja Mataram mengutus salah
seorang adipatinya untuk memanggil Mbah Sayid di Pasuruan. Setibanya di
Pasuruan, adipati tersebut mengajak Mbah Sayid untuk memenuhi panggilan
Raja. Mbah Sayid bermaksud memenuhi panggilan ini.
Bersama tiga orang santrinya, Mbah
Djailani (Tulangan Sidoarjo), Ahmad Surahim bin Untung Surapati, dan
Sayid Hazam, putranya sendiri, beliau berangkat ke Solo. Di Keraton,
Raja Mataram mengumpulkan pembesar-pembesar kerajaan. Ia menyiapkan
jamuan besar-besaran yang betul-betul mewah. Namun ada yang terasa
janggal di hati Mbah Sayid. Ada tiga keris pusaka yang diletakkan di
alas cowek yang ada sambalnya ketika mereka sedang makan bersama-sama.
Mbah Sulaiman heran melihat keris di
depannya itu. Beliau berbisik kepada santrinya, “Nak, kalian lupa tidak
memakan sayur kacang ini. Ayo dimakan, masing-masing satu!),” perintah
Mbah Sulaiman.
“Oh, iya Mbah,” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak.
“Kalau muridnya saja seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
“Oh, iya Mbah,” jawab mereka serempak.
Tiga buah keris itupun habis dimakan seperti halnya makan sayur kacang-kacangan. Semua yang hadir terhenyak.
“Kalau muridnya saja seperti ini, apalagi gurunya,” gumam mereka kagum.
Setelah acara makan-makan selesai, Raja
Mataram Solo berembuk dengan pembesar-pembesarnya untuk mengangkat Mbah
Sulaiman menjadi hakim. Namun saat kesepakatan ini disampaikan pada
Sayid, beliau menolak, dengan alasan akan meminta pertimbangan dan restu
kepada istri dan masyarakatnya yang ada di Pasuruan. Tentu saja, mereka
yang di Pasuruan tidak menyetujui. Mereka tidak mau kehilangan tokoh
yang disegani ini.
Wafatnya Sayid Sulaiman
Setiba di Pasuruan, setelah dari Solo
untuk mengabarkan penolakan rakyat Pasuruan pada sang Raja, Sayid
Sulaiman pamit kepada istrinya yang sedang hamil tua untuk pergi ke
Ampel, Surabaya. Lalu meneruskan perjalanannya ke Jombang. Namun di
tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek, Mojoagung, Jombang, beliau
jatuh sakit, kemudian wafat dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui
dengan pasti tahun kewafatannya.
Istri Mbah Sulaiman yang sedang hamil tua
itu terus menunggu kedatangan sang suami. Yang ditunggu-tunggu ternyata
tidak kunjung datang. la memutuskan untuk mencari Mbah Sulaiman. Dari
Pasuruan ke Sidoarjo, Surabaya, lalu ke Malang. Akhirnya ia melahirkan
di Desa Mendit, dekat pemandian. Namun bayinya langsung meninggal dunia
dan dimakamkan di Kampung Woksuru. Istri Mbah Sulaiman ini tetap tidak
putus asa. la terus mencari Sayid ke arah selatan, menuju Desa
Sawojajar, Malang bagian timur. Tapi malang tak dapat ditolak, ia
meninggal dunia sesampainya di desa Grebek.
Menurut versi lain, ketika pergi ke Solo
untuk memenuhi panggilan Raja, Mbah Sulaiman tidak sampai ke Solo.
Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan, tepatnya di kampung Betek,
Mojoagung. Selama masa sakitnya, beliau dirawat oleh seorang kiai
bernama Mbah Alif, sampai beliau memenuhi panggilan Tuhan. Selama berada
di Mojoagung dalam rawatan Mbah Alif, Mbah Sayid Sulaiman berdoa kepada
Tuhan, Kalau pertemuannya dengan Raja Solo dianggap baik dan
bermanfaat, maka beliau memohon agar dipertemukan. Tetapi jika tidak,
maka beliau minta lebih baik wafat di tempat itu. Akhirnya, permintaan
yang kedua dikabulkan oleh Allah. Beliau tidak sampai bertemu dengan
Raja Mataram, dan wafat di Mojoagung.
Adipati yang disuruh menjemput Mbah
Sayid, mengirim surat kepada Raja Solo, bahwa dirinya tidak akan kembali
ke Solo dan memilih menetap di Mojoagung untuk menjaga makam Mbah
Sayid. Sang adipati tetap tinggal di Mojoagung hingga meninggal dunia
dan dimakamkan di sana pula.
Turunkan Pewaris Perjuangannya
Hasil jerih payah Mbah Sayid dalam segala
usahanya membawa berkah amat besar bagi kehidupan beragama kaum
muslimin sampai sekarang. Perjuangannya mendirikan pesantren, melawan
dan bergelut dengan tantangan, telah menorehkan napak tilas terciptanya
apa yang kini kerap disebut dengan kentalnya moralitas agamis dan budaya
pesantren. Beliau berjasa mendirikan Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan, juga menurunkan pewaris-pewaris perjuangannya. Para pewaris
perjuangannya termasuk para ulama pemangku pesantren-pesantren besar,
mulai dari Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pondok Pesantren
Sidoresmo dan Pondok Pesantren Al-Muhibbin Surabaya, sampai Pondok
Pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan.
Dari istri pertamanya di Krapyak
Pekalongan, Sayid Sulaiman dikaruniai empat orang putra. Yaitu Hasan,
Abdul Wahhab, Muhammad Baqir (makamnya ada di Geluran,Sepanjang,
Sidoarjo), dan Ali Akbar. Keturunan Sayid Sulaiman dari jalur Abdul
Wahhab, banyak yang tinggal di Magelang dan Pekalongan. Sedangkan
keturunan beliau dari jalur Muhammad Baqir berada di Krapyak Pekalongan.
Abdul Wahhab dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan penjajah
Portugis dan Belanda. Begitu pula Hasan. Sayid yang masyhur dengan
sebutan “Pangeran Agung” ini juga sosok pejuang pembebasan tanah Jawa
dari cengkeraman Kompeni Belanda.
Melalui jalur Sayid Ali Akbar, banyak
terlahir ulama-ulama pemangku pesantren di Jawa Timur. Sebut saja,
Sidogiri, Demangan Bangkalan, dan Sidoresmo Surabaya. Sampai kini, makam
Sayid Ali Akbar tidak diketahui. Konon, karena kegigihannya menentang
penjajah, ia selalu diburu oleh Kompeni Belanda. Suatu ketika, Belanda
berhasil menangkap Ali Akbar dan akan dibuang ke Belanda dengan
menggunakan kapal. Tapi di tengah pelayaran Sayid Ali Akbar hilang.
Anehnya, ia muncul lagi di Sidoresmo. Untuk kedua kalinya beliau
ditangkap tentara Kompeni dan dibawa ke Belanda. Tapi seperti semula,
beliau menghilang di tengah pelayaran dan kembali ke Sidoresmo.
Kemudian, untuk ketiga kalinya beliau ditangkap dan dibawa ke Belanda.
Tidak seperti penangkapan sebelumnya, Ali Akbar tidak kembali ke
Sidoresmo. Ia terus menghilang. Konon, beliau lari ke Tarim, Hadramaut,
kampung para wali di mana kakeknya, Abdurrahman Basyaiban, dilahirkan.
Sayid Ali Akbar meninggalkan enam putra yang kelak menjadi penerus jejak kakeknya, Mbah Sayid Sulaiman. Mereka adalah:
1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan)
2. Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan)
3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya)
4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya)
5. Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan
6. Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
(belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
1. Sayid Imam Ghazali (makamnya di Tawunan Pasuruan)
2. Sayid Ibrahim (makamnya di Kota Pasuruan)
3. Sayid Badruddin (makamnya di sebelah Tugu Pahlawan Surabaya)
4. Sayid Iskandar (makamnya di Bungkul Surabaya)
5. Sayid Abdullah (makamnya di Bangkalan Madura) dan
6. Sayid Ali Ashghar (makamnya di Sidoresmo).
(belakangan diketahui, bahwa menurut catatan nasab keluarga Sidogiri dan Bangkalan, Sayid Abdullah adalah putra Sayid Sulaiman, bukan cucu Sayid Sulaiman dari Sayid Ali Akbar).
Dari Sayid Abdullah, terlahir
pewaris-pewaris perjuangan Sayid Sulaiman yang memangku pesantren
seperti Sidogiri dan Demangan Bangkalan, yang masing-masing telah
memiliki ribuan santri.
Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid Sulaiman.
Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon, Surabaya.
Sedangkan keturunan Mbah Sayid Sulaiman dari Ali Ashghar di Surabaya telah ‘menguasai’ dua desa, Sidoresmo dan Sidosermo. Sekarang, di dua desa ini terdapat sekitar 28 pondok pesantren. Semuanya diasuh oleh keturunan Sayid Sulaiman.
Sayid Ali Ashghar juga menurunkan ulama-ulama pemangku pesantren di Tambak Yosowilangon, Surabaya.
Sedangkan dari istrinya yang kedua, putri
Mbah Sholeh Semendi, Sayid Sulaiman mempunyai beberapa putra. Di
antaranya kiai Ahmad, Lebak, Winongan, Pasuruan. Dari istrinya yang
ketiga di Malang, beliau mempunyai putra Sayid Hazam. Tetapi menurut
riwayat lain, Hazam adalah putra Mbah Sulaiman dari istri yang kedua,
putri Mbah Sholeh Semendi.
Pembabat Sidogiri
Konon, Mbah Sayid Sulaiman membabat
Sidogiri atas titah dari Sunan Giri. Beliau harus berjuang habis-habisan
untuk membabat Sidogiri. Tidak sekadar bekerja keras menebang
pohon-pohon Sidogiri yang masih berwujud rimba, tapi juga harus
bertarung melawan bangsa Jin, sebab Sidogiri yang saat itu masih sangat
angker dan menyeramkan, menjadi sarang makhluk halus dan markas para
dedemit (jin). Sayang, beliau keburu mangkat saat melakukan perjalanan
ke Jombang, sebelum perjuangannya yang penuh pengorbanan ini berhasil
dengan sempurna. Setelah wafatnya Sayid Sulaiman, tidak ditemukan data
yang kuat mengenai pelanjut perjuangan beliau dalam mambabat Sidogiri.
Jejak sejarahnya hilang dan baru tercatat sejak periode Kiai Aminullah.
Ada dua versi mengenai tahun berdirinya
Pondok Pesantren Sidogiri. Dalam satu versi, Sidogiri didirikan pada
tahun 1745. Dalam catatan lain Pondok Pesantren Sidogiri berdiri pada
tahun 1712. Tahun 1712 adalah tahun paling dekat dengan masa hidup Sayid
Sulaiman. Sebab seperti disebutkan sebelumnya, beliau membabat Sidogiri
pada usia senjanya. Belum sempurna pembabatan Sidogiri, Sayid Sulaiman
keburu meninggal.
Sedang beliau hidup pada masa Untung
Surapati yang meninggal tahun 1705. Sedangkan tahun 1745 diperkirakan
masa hidup Kiai Aminullah. Jadi, kemungkinan besar, usia Pondok
Pesantren Sidogiri 268 tahun pada tahun ini (2013) adalah terhitung
sejak periode Kiai Aminullah ini.
Kiai Aminullah adalah seorang santri yang
berasal dari Bawean. Menurut satu riwayat, beliau menikah dengan Nyai
Masturah binti Rofi’i bin Umi Kultsum binti Hazam bin Sayid Sulaiman.
Bersama Nyai Masturah, Kiai Aminullah menetap di Sidogiri.
Namun menurut riwayat yang masyhur di
kalangan keluarga Sidogiri berdasarkan catatan silsilah, Kiai Aminullah
menikah dengan Nyai Indah binti Sayid Sulaiman. Menurut riwayat ini,
Kiai Aminullah adalah menantu langsung Sayid Sulaiman.
Kiai Aminullah sendiri adalah figur abid
(ahli ibadah) yang senang berkhidmah. Bahkan, sehabis salat Tahajud,
beliau istiqamah mengisi jeding masjid-masjid di sekitar Sidogiri. Hal
ini terus beliau lakukan sampai empat tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar